Tuesday, March 16, 2010

Menghapus pasal pencemaran nama baik

Source : http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=37007&Itemid=62


Monday, 18 January 2010
Menghapus pasal pencemaran nama baik

USULAN merevisi pasal pencemaran nama baik, terutama di UU ITE, datang dari berbagai kalangan.Usulan revisi itu muncul akibat adanya kasus-kasus yang menjerat individu maupun pers dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik. Yang paling fenomenal adalah kasus Prita Mulyasari, pasien RS Omni Internasional, yang sempat mendekam di penjara dan berurusan dengan pengadilan karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut.
Meski Prita dinyatakan tidak bersalah tapi kita cukup prihatin, bagaimana seorang pasien yang mengeluhkan buruknya pelayanan rumah sakit dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.
Saat ini, kasus yang masih belum selesai adalah kasus artis Luna Maya yang dilaporkan ke polisi akibat ungkapan kejengkelannya terhadap para pekerja infotainment di akun twiter.
Beberapa kasus itu mengindikasikan meski arus demokrasi sangat deras tapi belum bisa menjamin kebebasan berekpresi bagi warganya.Penyebabnya masih ada pasal pencemaran nama baik yang bisa digunakan pihak-pihak tertentu untuk mengekang kemerdekaan berpendapat.
Padahal, dalam negara demokrasi kemerdekaan berpendapat merupakan prasyarat utama yang harus diterapkan. Tanpa ada kebebasan dan kemerdekaan maka sistem kontrol tidak akan bisa berjalan dengan baik.
Delik pencemaran nama baik lebih digunakan individu untuk menumpahkan seluruh kemarahan terhadap kebebasan berpendapat. Asal mula pencemaran nama baik sebagai delik dimulai pada abad 13 (masyarakat feodalisme) untuk menjaga kehormatan kaum bangsawan. Lalu mengalami transformasi (masyarakat kapitalisme) untuk menjaga kehormatan setiap orang bukan hanya golongan tertentu.
Sedangkan untuk di Indonesia, delik pencemaran nama baik mulai mencuat setelah Reformasi. Setiap individu memproteksi dirinya atas tuduhan pihak lain dengan menggunakan pasal-pasal pencemaran nama baik. Akibatnya individu maupun pers cenderung berhati-hati dalam memberitakan dugaan-dugaan penyelewengan oleh institusi atau individu.
Secara umum, aturan pencemaran nama baik itu diatur dalam Bab XVI KUHP. Jenis-jenis penghinaan adalah: pencearan nama (menista), fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, serta persangkaan palsu. Pasal 310 ayat (1) WvS menyebutkan pengertian pencemaran nama adalah menyerang kehormatan dan nama baik orang lain dengan menuduhkan sesuatu hal.
Adapaun pengertian fitnah adalah jika tuduhan itu diminta untuk dibuktikan kebenarannya oleh hakim tapi terdakwa tidak membuktikannya dan bertentangan dengan yang diketahui.Dalam KUHP juga dijelaskan unsurunsur pencemaran nama baik, yakni niat kesengajaan, menyerang kehormatan dan nama baik orang lain, dan di depan umum atau untuk diketahui umum.Dalam KUHP setidaknya terdapat 15 pasal yang mengatur soal pasal penghinaan, fitnah, menista, dan pencemaran nama baik.
Di antaranya pasal 142 dengan ketentuan penghinaan terhadap kepala negara sahabat dengan ancaman pidana penjara lima tahun, penghinaan terhadap bendera negara sahabat, penghinaan terhadap wakil negara asing, penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, menista, penghinaan terhadap pejabat yang menjalankan tugas, dan lain-lain.
Selain dalam KUHP, pasal yang mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Yakni pasal 36 ayat 5 huruf a junto pasal 57 tentang fitnah dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 10 miliar.
Dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat pasal penghinaan terhadap calon kepala aerah dan calon wakil kepala daerah, yakni dalam pasal 78 huruf b junto pasal 116 dengan ancaman penjara minimal 3 bulan dan maksimal 1 tahun 6 bulan lima tahun dan denda minimal 600.00 dan maksimal Rp 6 juta.
Tidak hanya berhenti di situ, dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden juga terdapat pasal yang melarang penghinaan terhadap calon presiden dan calon wakil presiden, yakni pasal 41 ayat 1 huruf c junto pasal 214 dengan ancaman hukuman penjara minimal enam bulan dan maksimal dua tahun dan denda minimal 600 dan maksimal Rp 24 juta.
Undang-undang baru yang juga mengandung pasal penghinaan dan atau pencemaran nama baik adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam pasal 27 ayat 3 junto pasal 36 junto pasal 45 ayat 1 disebutkan bahwa ancaman hukuman tersebut adalah penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar.
Jika dikaitkan dengan kebebasan berekpresi maka barbagai pasal tersebut tentu menjadi penghambat tersendiri. Khalayak tidak berani mengungkapkan ekspresinya secara bebas karena takut dinilai bisa mencemarkan nama baik atau menghina orang lain.
Inilah yang menimpa Prita Mulyasari.Dia diadili di pengadilan gara-gara dia menuliskan keluhankeluhan pada saat berobat dan mendapatkan perawatan di rumah sakit tersebut.
Prita yang merasa hak-haknya tidak dipunuhi oleh rumah sakit kemudian menuliskannya dan menyebarkan keluhan tersebut kepada teman-temannya melalui email.Karena merasa dicemarkan nama baiknya, pihak rumah sakin Omni Internasional kemudian mengadukan Prita ke aparat kepolisian.Prita kemudian diadili dengan pasal pencemaran nama baik, meskipun akhirnya pengadilan memenangkan Prita.
Namun setidaknya penerapan pasal-pasal penghinaan dan atau pencemaran nama baik telah membuat shock therapy bagi publik. Publik atau masyarakat seakan-akan ditakut-takuti agar tidak mengungkapkan ekpresinya.
Inter-American Commision on Human Right mencatat dalam kesimpulan "Report on the compatibility of desacota laws with the American Convention on Human Rights yang kesimpulannya menyatakan bahwa hukuman pidana akan menjadi efek yang menakutkan dalam kemerdekaan berekspresi.
Setidaknya ada empat alasan kenapa tidak pidana penghinaan akan mengencam kebebasan berekspresi sehingga perlu dihapus. Empat alasan itu adalah kebebasan berekspresi adalah dasar dari demokrasi, kebebasan berekpresi berperan dalam pemberantasan korupsi, kebebasan berekpresi mempromosikan akuntabilitas dan transparansi, serta kebebasan berekspresi dalam masyarakat dipercaya merupakan cara terbaik untuk menemukan kebenaran.
Atas dasar itu maka pemerintah harus menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik. Apalagi, KUHP yang kita anut saat ini merupakan warisan negara Belanda, yang telah menjajah negeri ini. Sementara negara Belanda sendiri sudah merevisi ketentuan-ketentuan undang-undangnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kalau negara yang kita menganut saja, sudah merubah, lalu kenapa kita sebagai penganut tidak ikut memperbaiki aturan atau ketentuan-ketentaun itu. Dr M Iqbal Wibisono Sekretaris DPD I Partai Golkar Jawa Tengah

Source : http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=37007&Itemid=62

No comments:

Post a Comment